INDONESIA vs LONDON
Dikarenakan objek dan subjek pembelajaran adalah
siswa maka ketika ada pernyataan siswa bisa menentukan kurikulum adalah
sangatlah wajar. Namun, akan muncul sebuah pertanyaan jikalau siswa yang
menentukan kurikulum adalah siswa yang baru menginjak kelas 2 Sekolah Dasar,
bagaimana itu bisa terjadi dan diizinkan terjadi? Saya baru menyadari melalui
refleksi pengalaman Bapak Marsigit ketika berada di London ini, bahwasanya ada
pemaknaan kurikulum dan persepsi yang berbeda tentang kurikulum. Di Indonesia
dan memang sepengathuan saya kurikulum adalah suatu instrument pendidikan lebih
khususnya pembelajaran yang disusun oleh pemerintah pusat dan kemudian baru
disebarkan ke seluruh instansi pendidikan di seluruh Indonesia. Dan di instansi
inilah baru dijabarkan mengenai indikator dari standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Namun, berkat adanya forum tanya jawab
ini maka saya mampu membuka pikiran saya dan mampu berpikir berbeda dari
biasanya dan yang sudah lama ada, bahwa kurikulum itu juga dapat diartikan
langsung dalam konteks kelas, hampir seperti RPP. Dan melalui pemaknaan kurikulum
yang menjadi otoritas pihak sekolah maka akan menciptakan suasana pembelajaran
yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan kelas. Sistem pendidikan di
Indonesia dengan yang berada di Inggris (London) memang berbeda. Pada waktu itu
disebutkan bahwa Inggris menggunakan sistem desentralisasi pendidikan yang memberikan
wewenang pihak sekolah untuk mengurusi uruasan kurikulumnya sendiri. Namun, di
Indonesia tidak seperti itu. Kurikulum adalah urusan pemerintahan pusat. Akan
tetapi, ada ilmu yang dapat kita implementasikan dalam pembelajaran versi
London ke pembelajaran kita di Indonesia. Yaitu mengenai bagaimana titik berat,
kemudi, dan orietasi proses belajar dan mengajar itu adalah hak prerogatif siswa.
Hak istimewa yang dimiliki oleh siswa untuk dapat bergerak, bereksplorasi, dan
mengembangkan kemampuan serta kecerdasan olah pikir mereka sendiri sesuai
dengan standar masing-masing secara sadar dan mandiri. Dua point utama dalam kesimpulan akhir refleksi Bapak Marsigit di atas
adalah tentang bagaimana pemaknaan pembelajaran di kelas, yang memiliki banyak
siswa dan banyak pribadi yang berbeda dengan dielaborasikan terhadap tujuan.
Pembelajaran di London akan menghasilkan kesimpulan bahwasanya Pbm matematika
di London menganut paradigma: pada waktu yang berbeda, berbeda-beda siswa,
mempelajari matematika yang berbeda, dengan kecepatan dan kemampuan yang
berbeda, dengan hasil yang boleh berbeda pula. Sedangkan yang terjadi saat ini,
di Indonesia adalah sebagai berikut; untuk waktu yang sama, berbeda-beda siswa,
dituntut untuk mempelajari matematika yang sama, dengan hasil yang harus sama,
yaitu sama dengan yang dipikirkan oleh gurunya. Solusi untuk hal ini adalah
dengan adanya inovasi pembelajaran dari guru, seperti misalnya menggunakan
berbagai variasi LKS dan adanya portofolio bahkan record keeping masing-masing siswa.
No comments:
Post a Comment