Sunday, February 24, 2013

Refleksi Forum Tanya Jawab 63: Bagaimana Siswa Bisa Menentukan Kurikulum?


INDONESIA vs LONDON







Dikarenakan objek dan subjek pembelajaran adalah siswa maka ketika ada pernyataan siswa bisa menentukan kurikulum adalah sangatlah wajar. Namun, akan muncul sebuah pertanyaan jikalau siswa yang menentukan kurikulum adalah siswa yang baru menginjak kelas 2 Sekolah Dasar, bagaimana itu bisa terjadi dan diizinkan terjadi? Saya baru menyadari melalui refleksi pengalaman Bapak Marsigit ketika berada di London ini, bahwasanya ada pemaknaan kurikulum dan persepsi yang berbeda tentang kurikulum. Di Indonesia dan memang sepengathuan saya kurikulum adalah suatu instrument pendidikan lebih khususnya pembelajaran yang disusun oleh pemerintah pusat dan kemudian baru disebarkan ke seluruh instansi pendidikan di seluruh Indonesia. Dan di instansi inilah baru dijabarkan mengenai indikator dari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Namun, berkat adanya forum tanya jawab ini maka saya mampu membuka pikiran saya dan mampu berpikir berbeda dari biasanya dan yang sudah lama ada, bahwa kurikulum itu juga dapat diartikan langsung dalam konteks kelas, hampir seperti RPP. Dan melalui pemaknaan kurikulum yang menjadi otoritas pihak sekolah maka akan menciptakan suasana pembelajaran yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan kelas. Sistem pendidikan di Indonesia dengan yang berada di Inggris (London) memang berbeda. Pada waktu itu disebutkan bahwa Inggris menggunakan sistem desentralisasi pendidikan yang memberikan wewenang pihak sekolah untuk mengurusi uruasan kurikulumnya sendiri. Namun, di Indonesia tidak seperti itu. Kurikulum adalah urusan pemerintahan pusat. Akan tetapi, ada ilmu yang dapat kita implementasikan dalam pembelajaran versi London ke pembelajaran kita di Indonesia. Yaitu mengenai bagaimana titik berat, kemudi, dan orietasi proses belajar dan mengajar itu adalah hak prerogatif siswa. Hak istimewa yang dimiliki oleh siswa untuk dapat bergerak, bereksplorasi, dan mengembangkan kemampuan serta kecerdasan olah pikir mereka sendiri sesuai dengan standar masing-masing secara sadar dan mandiri. Dua point utama dalam kesimpulan akhir refleksi Bapak Marsigit di atas adalah tentang bagaimana pemaknaan pembelajaran di kelas, yang memiliki banyak siswa dan banyak pribadi yang berbeda dengan dielaborasikan terhadap tujuan. Pembelajaran di London akan menghasilkan kesimpulan bahwasanya Pbm matematika di London menganut paradigma: pada waktu yang berbeda, berbeda-beda siswa, mempelajari matematika yang berbeda, dengan kecepatan dan kemampuan yang berbeda, dengan hasil yang boleh berbeda pula. Sedangkan yang terjadi saat ini, di Indonesia adalah sebagai berikut; untuk waktu yang sama, berbeda-beda siswa, dituntut untuk mempelajari matematika yang sama, dengan hasil yang harus sama, yaitu sama dengan yang dipikirkan oleh gurunya. Solusi untuk hal ini adalah dengan adanya inovasi pembelajaran dari guru, seperti misalnya menggunakan berbagai variasi LKS dan adanya portofolio bahkan record keeping masing-masing siswa.


No comments:

Post a Comment