Ada setangkup
haru dalam rindu.
Masih seperti
dulu.
Tiap sudut
menyapaku bersahabat.
Penuh selaksa
makna …
(Ungu-Yogakarta)
Jauh-jauh
hari sebelum hari-H itu tiba, aku telah menyiapkan lagu ini untuk kubawa ke
tanah rantau, untuk kuputar playlistnya
ketika kurindu pada kota ini, Yogyakarta. Sebenarnya banyak lagu yang kupikir
cocok sekali untuk menemani waktu-waktu sendiri di kota nan jauh itu. Hobiku
standar, yaitu membaca dan mendengarkan
musik. Membaca novel-novel remaja yang ceritanya mengharu-biru dan mendengarkan
musik-musik mellow. Hidupku memang
sok romantis. Aku suka hujan. Aku suka malam. Aku suka sendiri dan suka menulis
puisi. Jalan-jalan, nonton, makan-makan di luar bersama teman-teman adalah hal
yang hampir jauh sekali dari kamus rutinitas harianku, bahkan bulananku. Aku
memang bisa dikatakan agak kuper jika
menyangkut hal yang bisa kukatakan hura-hura seperti itu. Namun, kalau soal
memiliki teman, dari Kota Sabang hingga Merauke-nya Yoyakarta, teman-temanku
banyak di sana. Aku suka berteman, bersahabat, mengenal pribadi-pribadi baru
dan berbeda. Aku tidak suka memilih-milih teman. Semua yang pernah berhubungan
denganku dalam berbagai kesempatan adalah temanku. Dan aku adalah orang yang
sangat lihai sekali dalam menjaga sebuah hubungan pertemanan.
“Li,
ntar aku jemput jam 1 ya. Seperti biasa. Tapi ngga usah pakai tidur lho ya.”
Kataku pada Lian, ketika kita hendak menuju motor masing-masing. Mau pulang.
“Oke,
Ra. Jadwal tidur siangku Cuma kemarin kok.”
Aku
dan Lian hampir 2 Minggu ini mengikuti sebuah les di SMART Bimbel, daerah Tugu.
Les ini adalah les intensif 1 bulan untuk persiapan seleksi masuk sebuah sekolah
kedinasan di Ibu Kota. Aku sangat ingin menjadi salah satu mahasiswi di sana.
Bukan untuk gengsi namun lebih karena orang tuaku dan itu memang mimpiku.
Setahun terakhir aku telah mempersiapkan segalanya untuk menghadapi seleksi
tahap pertama, 14 hari lagi. Menurutku, persiapan telah matang, bahkan sangat
matang. Berbagai try out aku ikuti,
buku-buku persiapan masuk sekolah kedinasan itu aku beli dan pelajari. Aku pun
memesan buku itu langsung dari Kopma dari Jakarta sana melalui Tiki.
Seleksi
tahap pertama diikuti hampir 30 ribu siswa lulusan SMA se-Indonesia. Tidak ada
perasaan gentar atau gemetar ketika aku mengikuti tes itu. Melihat banyak
sekali orang yang memiliki mimpi sama denganku dan mungkin perjuangannya lebih
berat dariku, semangatku semakin membara. Tes tahap pertama aku kerjakan dengan
sangat lancar.
“Ra,
pengumuman besok pagi jam 01.00 dah
keluar. Semoga kita ya. Semoga kita.”
“Kalau
rejeki nggak kemana Li.”
Hampir
setengah dari teman-teman sekolahku ikut tes sekolah itu. Karena di sana
prospek kerja di masa depan sangat menjajikan. Di mana ada gula di situ ada semut memang benar sekali.
Untuk menghilangkan gugup ketika melihat pengumuman
esok pagi, aku dan 5 orang teman-temanku malam harinya mengikuti sebuah acara
bedah buku di salah satu Toko Buku di Jalan Gejayan. Acara sampai jam 10 malam.
Aku memutuskan untuk ikut karena di sana ada Andrea Hirata, si Ikal itu.
Saat
akan membuka web pengumuman, perasaanku sangat tenang. Hampir yakin bahwa
namaku ada di sana. Memang benar, Zahra Amalia, nama itu tertera di sana. Aku
pun melihat nama Lian Puspita juga di antara 500 daftar nama itu. Aku Senang.
Amat senang.
“Ra
kalau wawancara 1 lawan 3 gini aku takut.” ucap Lian ketika kita sedang duduk
menunggu antrian wawancara tes tahap 2.
“Nggak
usah takut Li, lakukan yang terbaik aja. Kesempatan kita semua sama kok. Tapi
kalau kamu takut malah nanti kesempatannya jadi minus 1 lho.”
“Kalau
kamu kan pinter ngomong, lha aku?
“Ntar
di dalam curhat aja Li sama
pewawancaranya.” timpal Dita temanku yang juga lolos tes tahap 1. Dita anaknya
cerdas. Dia sebenernya nggak minat
ikut tes ini, dia cuma coba-coba.
Aku
sangat berharap dengan hasil tes ke dua ini. Akhirnya proses wawancaraku
selesai hingga hampir dua jam. Melebihi teman-temanku yang lain. Aku sangat
berharap. Aku optimis, namun juga ada sedikit rasa takut memikirkan kemungkinan
terburuk. Semboyanku saat itu hanyalah kalau
rejeki nggak ke mana kok. Usaha sudah, tinggal pasrah.
Ketika
aku sedang mengetik nomor urutku di web pengumuman itu, perasaanku campur aduk.
Pagi-pagi aku dapat SMS dari temanku, Nanda, yang pada hakikatnya dia jauh
lebih pintar dariku, dia gagal. Hem, pesimis. Kesempatanku minus satu poin, ada
rasa takut. Akhirnya, ketika enter
kutekan, No matches were found.
“Ya
Allah Ra, aku lolos. Gimana kamu?” SMS dari Bima.
“Ra.
Emang mungkin takdirku di Jogja aja kali ya. Takdir kamu gimana Ra? Pasti lolos
ya? L.” SMS Rika.
“Go
Go Go SNMPTN. Gadjah MA da… I’m Coming. J .” Dari Ana – dia kagak lolos.
“Kalau
rejeki emang nggak kemana kok. Zahra… ayo kita merantau bareng. Jadi anak
Jakarte gitu. Alhamdulillah Ya Allah. Lolos kan?” Pesan dari 008783256710 – LIAN.
“Gimana
kamu Beb? Aku malah galau nih. Lanjut nggak ya?” Dita (dengan kata lain dia keterima).
Mimpi
itu semakin jauh dan hilang. Nama sekolah itu menjadi amat menakutkan. Nama
Lian, Dita, Bima dan teman-temanku yang lolos menjadi aneh di telinga ku. Sedangkan
lagu-lagu itu, yang telah kupersiapkan, masih berada dalam satu folder di handphone-ku, “Go Ahead”. Semenjak hari
itu, lagu-lagu dalam “Go Ahead” yang mendayu-dayu rutin aku putar setiap malam.
Apalagi kalau sedang hujan, playlist kesukaanku
itu selalu menjadi teman terbaikku. Sekali lagi kuakui, hidupku memang sok
romantis.
Lian, teman seperjuanganku, sahabat terbaikku
berhasil meraih bintang itu. Lian yang terkadang takut untuk bermimpi kini
menggenggam erat kebahagiaan itu. Dita yang hanya bermodal coba-coba mendapat satu
tempat di antara 120 anak yang lolos.
Aku? Mencoba bangun dan menata puzzle mimpi-mimpiku yang lain. Ini rasanya seperti sangat sakit,
ingin menangis. Berbulan-bulan lamanya masih merasa kecewa. Bahkan, hingga hari
ini. Merasa iri dengan mereka, teman-temanku. Lian selalu mengabari bahwa dia senang di sana,
bertemu orang-orang hebat. Aku yang selalu menyikapinya dengan seolah ikut
merasa bahagia – memang benar aku ikut bahagia karenanya, dan merasa baik-baik
saja di sini – sejatinya tidak. Namun, hidup terus berlanjut meskipun ada aku
di sini dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku pun membuka laptop, membuka facebook, update. “MASIH TETAP BERANI
UNTUK BERMIMPI”.