Friday, December 28, 2012

Go Ahead



Pulang ke kotamu.
Ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu.
Tiap sudut menyapaku bersahabat.
Penuh selaksa makna …
(Ungu-Yogakarta)
            Jauh-jauh hari sebelum hari-H itu tiba, aku telah menyiapkan lagu ini untuk kubawa ke tanah rantau, untuk kuputar playlistnya ketika kurindu pada kota ini, Yogyakarta. Sebenarnya banyak lagu yang kupikir cocok sekali untuk menemani waktu-waktu sendiri di kota nan jauh itu. Hobiku standar,  yaitu membaca dan mendengarkan musik. Membaca novel-novel remaja yang ceritanya mengharu-biru dan mendengarkan musik-musik mellow. Hidupku memang sok romantis. Aku suka hujan. Aku suka malam. Aku suka sendiri dan suka menulis puisi. Jalan-jalan, nonton, makan-makan di luar bersama teman-teman adalah hal yang hampir jauh sekali dari kamus rutinitas harianku, bahkan bulananku. Aku memang bisa dikatakan agak kuper jika menyangkut hal yang bisa kukatakan hura-hura seperti itu. Namun, kalau soal memiliki teman, dari Kota Sabang hingga Merauke-nya Yoyakarta, teman-temanku banyak di sana. Aku suka berteman, bersahabat, mengenal pribadi-pribadi baru dan berbeda. Aku tidak suka memilih-milih teman. Semua yang pernah berhubungan denganku dalam berbagai kesempatan adalah temanku. Dan aku adalah orang yang sangat lihai sekali dalam menjaga sebuah hubungan pertemanan.
            “Li, ntar aku jemput jam 1 ya. Seperti biasa. Tapi ngga usah pakai tidur lho ya.” Kataku pada Lian, ketika kita hendak menuju motor masing-masing. Mau pulang.
            “Oke, Ra. Jadwal tidur siangku Cuma kemarin kok.”
            Aku dan Lian hampir 2 Minggu ini mengikuti sebuah les di SMART Bimbel, daerah Tugu. Les ini adalah les intensif 1 bulan untuk persiapan seleksi masuk sebuah sekolah kedinasan di Ibu Kota. Aku sangat ingin menjadi salah satu mahasiswi di sana. Bukan untuk gengsi namun lebih karena orang tuaku dan itu memang mimpiku. Setahun terakhir aku telah mempersiapkan segalanya untuk menghadapi seleksi tahap pertama, 14 hari lagi. Menurutku, persiapan telah matang, bahkan sangat matang. Berbagai try out aku ikuti, buku-buku persiapan masuk sekolah kedinasan itu aku beli dan pelajari. Aku pun memesan buku itu langsung dari Kopma dari Jakarta sana melalui Tiki.
            Seleksi tahap pertama diikuti hampir 30 ribu siswa lulusan SMA se-Indonesia. Tidak ada perasaan gentar atau gemetar ketika aku mengikuti tes itu. Melihat banyak sekali orang yang memiliki mimpi sama denganku dan mungkin perjuangannya lebih berat dariku, semangatku semakin membara. Tes tahap pertama aku kerjakan dengan sangat lancar.
            “Ra, pengumuman besok pagi jam 01.00 dah keluar. Semoga kita ya. Semoga kita.”
            “Kalau rejeki nggak kemana Li.”             
            Hampir setengah dari teman-teman sekolahku ikut tes sekolah itu. Karena di sana prospek kerja di masa depan sangat menjajikan. Di mana ada gula di situ ada semut memang benar sekali.
Untuk menghilangkan gugup ketika melihat pengumuman esok pagi, aku dan 5 orang teman-temanku malam harinya mengikuti sebuah acara bedah buku di salah satu Toko Buku di Jalan Gejayan. Acara sampai jam 10 malam. Aku memutuskan untuk ikut karena di sana ada Andrea Hirata, si Ikal itu.
            Saat akan membuka web pengumuman, perasaanku sangat tenang. Hampir yakin bahwa namaku ada di sana. Memang benar, Zahra Amalia, nama itu tertera di sana. Aku pun melihat nama Lian Puspita juga di antara 500 daftar nama itu. Aku Senang. Amat senang.
            “Ra kalau wawancara 1 lawan 3 gini aku takut.” ucap Lian ketika kita sedang duduk menunggu antrian wawancara tes tahap 2.
            “Nggak usah takut Li, lakukan yang terbaik aja. Kesempatan kita semua sama kok. Tapi kalau kamu takut malah nanti kesempatannya jadi minus 1 lho.”
            “Kalau kamu kan pinter ngomong, lha aku?
            “Ntar di dalam curhat aja Li sama pewawancaranya.” timpal Dita temanku yang juga lolos tes tahap 1. Dita anaknya cerdas. Dia sebenernya nggak minat ikut tes ini, dia cuma coba-coba.
            Aku sangat berharap dengan hasil tes ke dua ini. Akhirnya proses wawancaraku selesai hingga hampir dua jam. Melebihi teman-temanku yang lain. Aku sangat berharap. Aku optimis, namun juga ada sedikit rasa takut memikirkan kemungkinan terburuk. Semboyanku saat itu hanyalah kalau rejeki nggak ke mana kok. Usaha sudah, tinggal pasrah.
            Ketika aku sedang mengetik nomor urutku di web pengumuman itu, perasaanku campur aduk. Pagi-pagi aku dapat SMS dari temanku, Nanda, yang pada hakikatnya dia jauh lebih pintar dariku, dia gagal. Hem, pesimis. Kesempatanku minus satu poin, ada rasa takut. Akhirnya, ketika enter kutekan, No matches were found.
            “Ya Allah Ra, aku lolos. Gimana kamu?” SMS dari Bima.
            “Ra. Emang mungkin takdirku di Jogja aja kali ya. Takdir kamu gimana Ra? Pasti lolos ya? L.” SMS Rika.
            “Go Go Go SNMPTN. Gadjah MA da… I’m Coming. J .” Dari Ana – dia kagak lolos.
            “Kalau rejeki emang nggak kemana kok. Zahra… ayo kita merantau bareng. Jadi anak Jakarte gitu. Alhamdulillah Ya Allah. Lolos kan?” Pesan dari  008783256710 – LIAN.
            “Gimana kamu Beb? Aku malah galau nih. Lanjut nggak ya?” Dita (dengan kata lain dia keterima).
            Mimpi itu semakin jauh dan hilang. Nama sekolah itu menjadi amat menakutkan. Nama Lian, Dita, Bima dan teman-temanku yang lolos menjadi aneh di telinga ku. Sedangkan lagu-lagu itu, yang telah kupersiapkan, masih berada dalam satu folder di handphone-ku, “Go Ahead”. Semenjak hari itu, lagu-lagu dalam “Go Ahead” yang mendayu-dayu rutin aku putar setiap malam. Apalagi kalau sedang hujan, playlist kesukaanku itu selalu menjadi teman terbaikku. Sekali lagi kuakui, hidupku memang sok romantis.
Lian, teman seperjuanganku, sahabat terbaikku berhasil meraih bintang itu. Lian yang terkadang takut untuk bermimpi kini menggenggam erat kebahagiaan itu. Dita yang hanya bermodal coba-coba mendapat satu tempat di antara 120 anak yang lolos.  
Aku? Mencoba bangun dan menata puzzle mimpi-mimpiku yang lain. Ini rasanya seperti sangat sakit, ingin menangis. Berbulan-bulan lamanya masih merasa kecewa. Bahkan, hingga hari ini. Merasa iri dengan mereka, teman-temanku. Lian  selalu mengabari bahwa dia senang di sana, bertemu orang-orang hebat. Aku yang selalu menyikapinya dengan seolah ikut merasa bahagia – memang benar aku ikut bahagia karenanya, dan merasa baik-baik saja di sini – sejatinya tidak. Namun, hidup terus berlanjut meskipun ada aku di sini dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku pun membuka laptop, membuka facebook, update. “MASIH TETAP BERANI UNTUK BERMIMPI”.
           
            

No comments:

Post a Comment